Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sarnath | |
The Dhamekh Stupa, Sarnath | |
Negara Bagian | Uttar Pradesh |
Koordinat | 25.3811° LU 83.0214° BT |
Luas | |
Zona waktu | IST (UTC+5:30) |
Populasi - Kepadatan |
- |
Isipatana disebutkan oleh Sang Buddha sebagai salah satu dari empat tempat ziarah penting bagi pengikutNya untuk dikunjungi.
Daftar isi |
Asal nama
Mrigadava berarti "taman rusa". Isipatana adalah nama yang digunakan dalam kitab bahasa Pali , dan memiliki arti "tempat di mana orang-orang suci berada" (Pali: isi, Sanskerta: Resi) jatuh ke bumi.Legenda mengatakan bahwa ketika calon Buddha lahir di dunia, beberapa dewa turun ke bumi untuk mengumumkannya kepada 500 Resi. Para Resi terbang ke udara, menghilang dan relik mereka jatuh ke tanah.[rujukan?] Penjelasan lain untuk nama Isipatana tersebut adalah karena orang bijak, dalam perjalanan mereka melalui udara (dari Pegunungan Himalaya), turun di sini atau memulai dari sini perjalanan udara mereka (isayo ettha nipatanti uppatanti CATI-Isipatanam). Para Pacceka Buddha, setelah menghabiskan tujuh hari dalam perenungan mengenai Gandhamādana, mandi di Danau Anotatta dan datang ke pemukiman manusia melalui udara (terbang) untuk mencari sedekah. Mereka turun ke bumi di Isipatana. [1] Kadang-kadang para Pacceka Buddha datang ke Isipatana dari Nandamūlaka-pabbhāra. [2]
Xuanzang mengutip Nigrodhamiga Jataka (Ji145ff) untuk menjelaskan asal-usul dari Migadāya. Menurut beliau Taman Rusa adalah hutan yang dihadiahkan oleh raja Benares dalam cerita Jataka, di mana rusa-rusa dapat berkeliaran tanpa gangguan. Migadāya disebut demikian karena diizinkan rusa-rusa itu berkeliaran di sana tanpa gangguan/pemburuan.
Sarnath, dari Saranganath, berarti "Pemimpin dari Rusa" dan berkaitan dengan cerita Buddhis kuno lainnya di mana Bodhisattva terlahir sebagai rusa dan memberikan hidupnya untuk seorang raja menggantikan seekor rusa betina yang rencananya akan dibunuh. Raja begitu tergugah sehngga ia menciptakan taman sebagai tempat perlindungan bagi rusa. Taman tersebut masih ada hingga saat ini.
Sejarah
Buddha Gautama di Isipatana
Buddha pergi dari Bodhgaya ke Sarnath sekitar 5 minggu setelah PencerahanNya. Sebelum Gautama (calon Buddha) mencapai Pencerahan, ia meninggalkan praktek pertapaan kerasnya, dan teman-temannya - para pertapa Pañcavaggiya, meninggalkannya dan pergi ke Isipatana. [3]Setelah mencapai Pencerahan, Buddha, meninggalkan Uruvela, dan pergi menuju Isipatana untuk menemui para pertapa Pañcavaggiya dan mengajar mereka. Ia pergi menemui mereka karena, dengan menggunakan kekuatan spiritualNya, Ia telah melihat bahwa kelima mantan sahabatnya akan mampu memahami Dharma dengan cepat. Dalam perjalanan menuju Sarnath, Buddha Gautama harus menyeberangi Sungai Gangga. Tidak punya uang untuk membayar tukang perahu, Ia menyeberangi Sungai Gangga melalui udara (terbang). Ketika Raja Bimbisara mendengar hal ini, ia menghapuskan biaya perjalanan bagi para pertapa. Ketika Buddha Gautama menemukan lima mantan sahabatnya, Ia mengajar mereka, mereka mengerti dan sebagai akibatnya mereka juga menjadi Yang Tercerahkan. Pada saat itu Sangha, komunitas yang Tercerahkan, didirikan. Khotbah yang diberikan Buddha kepada lima pertama tersebut merupakan khotbah pertama, yang disebut Dhammacakkappavattana Sutta. Khotbah itu diberikan pada hari bulan purnama di bulan Asalha. [4] Buddha kemudian juga menghabiskan musim hujan pertamaNya di Sarnath [5] di Mulagandhakuti. Sangha telah berjumlah 60 bhiksu (setelah Yasa dan teman-temannya telah menjadi bhiksu), Buddha mengutus mereka menuju segala penjuru dunia untuk bepergian sendiri dan mengajarkan Dharma. Hal ini menandakan misionaris pertama di dunia telah dimulai.Keenam puluh bhiksu tersebut adalah Arahat.
Beberapa kejadian lain yang berhubungan dengan Buddha, selain khotbah pertama, dikisahkan juga terjadi di Isipatana. Pada suatu hari saat fajar Yasa datang kepada Sang Buddha dan menjadi seorang Arahat. [6] Juga di Isipatana, aturan yang melarang penggunaan sandal yang terbuat dari daun talipot ditetapkan. [7] Pada kesempatan lain, ketika Sang Buddha tinggal di Isipatana, setelah datang dari Rajagaha, Beliau melembagakan aturan-aturan yang melarang penggunaan beberapa jenis daging, termasuk daging manusia. [8] Dua kali, pada saat berada Buddha di Isipatana, Mara mengunjungiNya tetapi harus pergi dengan perasaan malu. [9]
Selain Dhammacakkappavattana Sutta yang disebutkan di atas, beberapa sutta juga dikhotbahkan oleh Buddha selama berada di Isipatana, di antaranya:
- Anattalakkhana Sutta,
- Saccavibhanga Sutta,
- Panca Sutta (S.iii.66f),
- Rathakāra atau Pacetana Sutta (Ai110f),
- dua Sutta Pasa (Si105f),
- Samaya Sutta (A.iii.320ff),
- Katuviya Sutta (Ai279f.),
- sebuah wacana di Metteyyapañha di Parāyana (A.iii.399f), dan
- Dhammadinna Sutta (Sv406f), khotbah kepada umat awam terkemuka Dhammadinna, yang datang untuk mengunjungi Sang Buddha.
Menurut Udapāna Jataka (J.ii.354ff) di dekat Isipatana juga terdapat sebuah mata air yang sangat kuno, yang pada masa kehidupan Buddha, digunakan oleh para bhiksu yang tinggal di sana.
Isipatana setelah Buddha
Menurut Mahavamsa, ada komunitas para bhiksu yang besar di Isipatana pada abad kedua SM. Alasannya kita diberitahu bahwa pada upacara fondasi Maha Thūpa di Anuradhapura, dua belas ribu biksu yang hadir dari Isipatana dipimpin oleh Sesepuh Dhammasena. [13]Di Isipatana, Hiouen Thsang [14] menemukan seribu lima ratus biksu mempelajari Hinayana. Di bagian depan dari Sanghārāma terdapat sebuah vihara sekitar dua ratus meter tingginya, dibangun dengan kokoh, dan atapnya ditutupi oleh ornamen pohon mangga emas. Di tengah-tengah vihara terdapat patung Buddha ukuran normal yang sedang memutar roda Hukum/Dharma. Di barat daya terdapat sisa-sisa sebuah stupa batu yang dibangun oleh Raja Asoka. Divy. (389-94) menyebutkan bahwa Asoka berkeinginan untuk mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan Buddha, dan untuk mendirikan thupa disana. Dengan demikian ia mengunjungi Lumbini, Bodhimūla, Isipatana, Migadāya dan Kusinagara; ini ditegaskan dengan prasasti Asoka, misalnya Prasasti Batu, viii.
Di depannya terdapat sebuah pilar batu untuk menandai tempat di mana Buddha mengajarkan khotbah pertamaNya. Di dekat stupa lain merupakan situs dimana para pertapa Pañcavaggiya menghabiskan waktu mereka bertapa sebelum kedatangan Buddha, dan satu lagi di mana lima ratus Pacceka Buddha mencapai Nibbana. Dekat dengannya terdapat bangunan lain di mana Buddha Metteyya yang akan datang mendapatkan kepastian menjadi seorang Buddha.
Ajaran Buddha berkembang di Sarnath sebagian karena raja dan saudagar kaya yang berbasis di Varanasi. Pada abad ketiga Sarnath telah menjadi pusat penting bagi seni budaya dan mencapai puncaknya selama periode Gupta (4th ke abad 6 M). Pada abad ke-7 pada saat Xuan Zang berkunjung dari Cina, ia menemukan 30 vihara dan 3000 bhiksu tinggal di Sarnath.
Sarnath menjadi pusat utama dari sekolah agama Buddha Sammatiya, salah satu sekolah Buddhisme awal. Namun adanya gambar Heruka dan Tara menunjukkan bahwa Buddhisme Vajrayana (pada waktu kemudian) juga dipraktekkan di sini. Juga gambar-gambar dewa kaum Brahmana seperti Siwa dan Brahma ditemukan di lokasi ini, dan masih ada kuil Jain (di Chandrapuri) yang terletak sangat dekat dengan Dhamekh Stupa.
Pada akhir abad ke-12 Sarnath ditaklukkan oleh Muslim Turki, dan situs tersebut kemudian dijarah untuk dijadikan bahan bangunan.
Penemuan Isipatana
Isipatana diidentifikasi dengan Sarnath modern, enam mil dari Benares. Alexander Cunningham [15] menemukan Migadāya diwakili dengan sebuah hutan seluas sekitar setengah mil, yang membentang dari makam besar Dhamekha di sebelah utara hingga ke gundukan Chaukundi di sebelah selatan.Karakteristik legendaris Isipatana
Menurut kitab komentar buddhis, semua Buddha mengkhotbahkan khotbah pertama mereka di Migadāya di Isipatana. Ini adalah salah satu dari empat avijahitatthānāni (titik-titik yang tidak berubah), yang lainnya adalah Bodhi-pallanka, tempat di pintu gerbang Sankassa, di mana Sang Buddha pertama kali menyentuh bumi saat kembali dari Tāvatimsa, dan situs tempat tidur di Gandhakuti di Jetavana [16]Di masa lampau kadang Isipatana mempertahankan nama sendiri, seperti yang terjadi pada masa Phussa Buddha (Bu.xix.18), Dhammadassī (BuA.182) dan Kassapa (BuA.218). Kassapa lahir di sana (ibid., 217). Tetapi lebih sering Isipatana dikenal dengan nama yang berbeda (untuk nama-nama ini tergantung dari masing-masing zaman Buddha). Jadi, pada masa Buddha Vipassī, tempat itu dikenal sebagai Khema-uyyāna. Ini adalah kebiasaan bagi semua Buddha untuk pergi melalui udara menuju Isipatana untuk memberitakan khotbah pertama mereka. Namun Buddha Gotama berjalan sepanjang jalan, sejauh delapan belas liga (1 liga = 4.828032 km), karena Ia tahu dengan demikian Ia akan bertemu Upaka, pertapa Ajivaka, yang dapat Ia ajarkan. [17]
Komentar :
Posting Komentar